SEARCH

Most Wanted:

........................................................................................................................................................... Wahai Rabb kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami. ........................................................................................................................................................... ...Wahai Rabb kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami...
myfreecopyright.com registered & protected Protected by Copyscape Online Plagiarism Software

Thursday, December 16, 2010

Mou Sukoshi Dake

Di..kedalaman hatiku, tersembunyi harapan yang suci..
Ta..k, perlu engkau menyangsikan..
Le..wat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..

(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ad Coustic)

Yaa... Mou Sukoshi Dake,,, just a little more time to that day, to that big day... Aku belum berbuat apa2... Hummm,,, Masih harus banyak belajar 'tuk berbuat... Maka saat ini kiranya ku mempelajari apa yang terbaik yang boleh kuminta pada bintangku.... Hati2 sekali aku bertanya padanya... Aku khawatir menyinggung sesuatu yang belum saatnya, tapi waktu kami tinggal sedikit lagi... Aku hanya ingin membantu meringankan pikirannya... Atau justru aku menambah beban... >_< huhuhuhu...

Oke, aku pelajari ini dulu....
Mahar atau maskawin, kata Shaleh bin Ghanim As-Sadlan dalam buku Mahar & Walimah, merupakan satu hak yang ditentukan oleh syariah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali kesuciannya. Maka mahar merupakan keharusan tanpa boleh ditawar oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan simbol untuk menghormatinya serta membahagiakannya.

Mahar disebut juga dengan istilah yang indah, yakni shidaq. Shidaq berarti kebenaran. Mahar menunjukkan kebenaran dan kesungguhan cinta kasih laki-laki yang meminangnya. Ia merupakan bukti kebenaran ucapan laki-laki atas keinginannya untuk menjadi suami bagi orang yang dicintainya. 

Mahar bukanlah harga atas diri seorang wanita. Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar. Namun ia membuktikan kebenaran kesungguhan, cinta, dan kasih-sayang laki-laki yang bermaksud kepadanya dengan mahar.

Jadi, makna mahar atau maskawin dalam sebuah pernikahan lebih dekat kepada syari'at agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa suci. Mahar adalah syarat sahnya sebuah perkawinan. Juga, sebagai ungkapan penghormatan seorang laki-laki kepada wanita yang menjadi istrinya. Memberikan mahar merupakan ungkapan tanggung-jawab kepada Allah sebagai Asy-Syari' (Pembuat Aturan) dan kepada wanita yang dinikahinya sebagai kawan seiring dalam meniti kehidupan berumahtangga.

Kelak, mahar merupakan aspek penting yang banyak memberi pengaruh apakah sebuah pernikahan akan barakah atau tidak. Kita telah membaca beberapa hadis Nabi berkenaan dengan hal ini di awal bab. Oleh karena itu, saya tidak membahasnya lagi. Saat ini, kita lebih baik melanjutkan pembahasan kita mengenai berbagai hal dalam masalah mahar.

Sebaik-baik Mahar

Ada kenangan indah dalam sejarah. Tak hanya orang-orang di zaman Rasulullah yang terkesan. Orang-orang yang hidup jauh sesudah Rasulullah tiada, masih sering menyebut-nyebut dengan penuh penghormatan. Perjalanan hidupnya banyak yang diabadikan oleh Al Qur’an dan Al-Hadis. Keturunannya menambah keharuman Islam.Sebuah pernikahan yang benar-benar penuh barakah.

Mengenai pernikahannya, Tsabit berkata, "Belum pernah aku mendengar mahar yang lebih mulia daripada mahar Ummu Sulaim. Ia hidup rukun bersamanya dan melahirkan anak."

Apa mahar Ummu Sulaim? Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam Zadul Ma'ad sebagaimana disebut dalam Mahar & Walimah, mencatat: .... Dan dalam Sunan An-Nasa'i bahwa Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim lalu berkata, "Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang seperti Anda tidak akan ditolak (melamar wanita), akan tetapi Anda seorang kafir, sedangkan saya seorang Muslimah. Tidak halal bagiku untuk kawin dengan Anda.


"Namun jika Anda masuk Islam, maka yang demikian dapat menjadi maharku. Saya tidak meminta selain itu."

Ada yang bisa kita catat dari kisah agung pernikahan Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah. Kita mencatat bahwa mahar dapat menjadi dakwah. Mahar menjadi pengikat kasih-sayang sekaligus untuk syi'ar Islam.

Barangkali untuk tujuan ini, kita mendapati banyak orang memberikan mahar kepada istrinya berupa mushaf Al Qur’an dan mukena. Jika ini tujuannya, kita dapat bertanya kembali, apakah mahar jenis ini masih mempunyai kekuatan untuk menegakkan syi'ar Islam ketika yang demikian ini telah menjadi tradisi dan orang di sekeliling kita sudah banyak yang menggunakan mukena.

Apalagi, kita juga mendapati bahwa mahar yang seperti ini tidak jarang sekedar sebagai basa-basi formal. Basa-basi sosial atau religi. Sedangkan mahar yang sesungguhnya, bukan itu. Di atas kertas, mahar yang disebutkan pada saat akad adalah mushaf Al Qur’an dan seperangkat alat shalat. Tetapi di belakangnya, ada
sejumlah mahar yang atas pertimbangan sosial tidak dinyatakan saat itu, tetapi disebar berita pada saat lain.

Jika ini yang terjadi, saya khawatir mahar tersebut tidak menjadi syi'ar Islam. Hari ini, kita merasakan itu. Mahar yang dekat dengan nafas agama itu, justru tidak membuat kita bergetar. Tidak membuat darah kita berdesir terkesiap karena tertegun oleh keagungannya, di balik yang tampak bersahaja.
Saya khawatir, mahar yang demikian bukannya menjadi syi'ar, jika di belakangnya ada yang tidak ditampakkan atas alasan-alasan basa-basi sosial. Jangan-jangan tindakan ini mengandung unsur kebohongan, sehingga pernikahan justru menjadi tidak barakah.

Apakah mahar berupa mushaf Al Qur’an tidak bisa menjadi syi'ar? Insya-Allah masih mempunyai kekuatan syi'ar jika kita meniatkan betul dan menjaga niat itu ketika menyampaikan mahar.

Selebihnya, syi'ar dalam bentuk-bentuk seperti itu, sifatnya sangat kontekstual. Kalau dulu, mahar berupa perlengkapan shalat mempunyai kekuatan syi'ar sangat besar, maka sekarang perlu kita pikirkan kembali. Ketika orang belum begitu mengenal shalat, mahar berupa perlengkapan shalat membuat undangan terkesan dan mencatat dalam hatinya tentang sebuah kemuliaan: shalat. 

Sekarang, ketika masalahnya berganti, bentuk mahar yang menjadi syi'ar dapat dipilih yang lebih sesuai dengan semangat yang ingin kita tumbuhkan sekarang. Misalnya, jubah dengan atau tanpa cadar dan perlengkapannya. Di luar itu, disampaikan mahar lain jika memungkinkan dan disebut bersamaan dengan penyebutan mahar jubah. Adapun kalau ada hadiah sebelum atau sesudah akad nikah, maka yang demikian ini tidak termasuk yang disebutkan.

Selanjutnya, ada yang perlu kita waspadai. Mahar bisa menjadi syi'ar. Tetapi juga bisa menjadi sarana untuk mendapatkan penilaian sosial. Yang pertama, kita mengarahkan masyarakat kepada suatu kesan yang baik terhadap agama, dan mudahmudahan hati mereka tergerak. Yang kedua, penilaian masyarakat mengarahkan kita untuk menentukan mahar yang disebut layak, baik dan pantas. Atau, penyebutan mahar malah dalam rangka menunjukkan ketinggian derajat atau kebesaran martabat keluarga wanita yang menikah, meskipun untuk itu harus dilakukan impression management (manajemen kesan) sehingga orang mendapat kesan yang lebih dari sesungguhnya.


Berbeda sekali antara dua hal tersebut, baik dalam makna maupun dalam akibatnya. Satu catatan, tidak ada keharusan memberikan bentuk mahar sebagai syi'ar khusus. Mahar lebih dekat artinya kepada pemberian sebagai bukti kebenaran kasih sayang dan ketaatan kepada syari'at yang telah ditetapkan oleh Asy-Syari' (Allah Swt).

Ini yang paling penting. 
Pembahasan kita tentang mahar Ummu Sulaim dan tujuan dakwahnya, sekedar untuk menunjukkan bahwa mahar tidak harus selalu berbentuk harta. Musa diminta memberi mahar berupa pekerjaan menggembala kambing beberapa tahun. Dan Ummu Sulaim meminta mahar berupa kesediaan masuk Islam demi meninggikan kemuliaan Islam.

Tidak Bisa Dinilai Secara Kuantitatif

Kisah mahar Ummu Sulaim menunjukkan pengertian bahwa, mahar tidak dapat diukur dari sedikit-banyaknya secara kuantitatif. Segenggam tepung bahan roti (makanan); sebuah cincin besi; dan sepasang terompah dapat dijadikan sebagai mahar yang menjadikan perkawinan sah karenanya. Begitu pengertian yang bisa kita ambil
dari Shaleh bin Ghanim.

“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Qs. An-Nisa’ : 4)

Adapun mahar dapat berupa:
1. Harta (materi) dengan berbagai bentuknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nisa’: 24)

2. Sesuatu yang dapat diambil upahnya ( jasa).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik’.” (Qs. Al-Qoshosh: 27)

3. Manfaat yang akan kembali kepada sang wanita, seperti:
  • Memerdekakan dari perbudakan
  • Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Shafiyah binti Huyayin (kemudian menikahinya) dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar.” (Atsar riwayat Imam Bukhari: 4696)
  • Keislaman seseorang
    • Hal tersebut sebagaimana kisah Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhubekata, “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, maka Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan,’Saya telah masuk Islam, jia kamu masuk Islam aku akan menikah denganmu.’ Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya sebagai maharnya.” (HR. An-Nasa’I : 3288)
  • Atau hafalan al-qur’an yang akan diajarkannya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahkan salah seorang sahabat dengan beberapa surat al-qur’an hafalannya (HR. Bukhari dan Muslim)
 Wallahu'alam :)

Credit: dari berbagai sumber.

0 comments:

Post a Comment

My Design & Pict ~ Collect